MEDAN, (S3 KPI)– Bagaimanakah mengukur tingkat “kereligiusan” sebuah kabupaten atau kota? Pertanyaan ini menjadi titik tolak diskusi akademik yang digelar Pusat Studi Pembangunan Dakwah dan Kebijakan Publik Fakultas Dakwah dan Komunikasi (FDK) UIN Sumatera Utara, Kamis, 5 Juni 2024.
Bertempat di Aula FDK UINSU, diskusi yang bertajuk “Mengukur Kabupaten/Kota Religius” ini menghadirkan dua narasumber utama: Dr. Muhammad Jailani, M.A, dosen FDK UINSU yang selama ini meneliti relasi agama dan ruang publik, serta Prof. Dr. Zainal Arifin, Lc., M.A, Ketua Program S3 (Doktoral)
Komunikasi dan Penyiaran Islam UINSU, yang memberikan pandangan sebagai narasumber pembanding.
Diskusi diikuti para dosen dan mahasiswa lintas program studi dalam lingkungan FDK. Kegiatan ini merupakan bagian dari upaya institusi untuk membangun kapasitas akademik sekaligus merumuskan kontribusi intelektual terhadap isu-isu kebijakan publik berbasis nilai keagamaan.
Dalam presentasinya, Dr. Jailani memaparkan bahwa konsep kabupaten/kota religius bukan sekadar label normatif. Ia menggarisbawahi pentingnya pendekatan empiris dalam menilai sejauh mana nilai-nilai agama terintegrasi dalam sistem sosial, layanan publik, hingga perumusan kebijakan lokal.
“Kabupaten religius bukan hanya soal banyaknya rumah ibadah atau kegiatan keagamaan, tapi bagaimana nilai-nilai iman dan taqwa diterjemahkan ke dalam sistem yang menjamin kesejahteraan, keadilan, dan kemanusiaan,” ujar Jailani.
Menurutnya, indikator kabupaten religius harus menyentuh aspek keseharian masyarakat: sejauh mana warga merasa aman dan nyaman dalam beribadah, apakah negara hadir memberi pelayanan yang adil tanpa diskriminasi agama, serta apakah kebijakan publik mencerminkan nilai-nilai moral yang inklusif.
Diskusi juga menyoroti pentingnya menghindari jebakan formalisme agama. Religiusitas bukan sekadar simbolik atau administratif, tetapi harus tampak dalam perubahan konkret: pelayanan publik yang manusiawi, pengentasan kemiskinan, serta penguatan ruang dialog. Dari diskusi ini juga terungkap, bahwa FDK UINSU siap menjadi mitra dalam mengukur dan membangun kabupaten yang religius.
Prof. Zainal Arifin menambahkan bahwa gagasan tentang kabupaten religius harus diposisikan sebagai bagian dari pembangunan dengan nilai Islam itu sendiri yang berbasis Al Quran dan Hadist. Ia menyebut, peran lembaga dakwah dan akademisi menjadi kunci dalam merumuskan indikator yang tidak bias agama mayoritas dan sensitif terhadap konteks lokal.
“Ini soal merumuskan politik nilai dalam bingkai kebijakan. Kabupaten religius seharusnya hadir sebagai ruang di mana etika publik tumbuh, bukan hanya doktrin agama,” jelas Zainal yang juga Guru Besar Ilmu Alquran ini.
Antusiasme peserta terasa dalam sesi diskusi panel dan tanya jawab. Mahasiswa dan dosen menanggapi dengan pertanyaan-pertanyaan kritis mengenai kemungkinan implementasi konsep ini dalam tata kelola daerah, hingga urgensi evaluasi terhadap regulasi yang ada. Rencananya, hasil diskusi akan dirumuskan menjadi naskah akademik dan policy brief untuk ditujukan kepada kepala daerah di beberapa kabupaten/kota di Sumatera Utara.(*)